Ingatan yang tidak pernah hilang.

Rea

--

Abista Adhiarja itu manusia sempurna.

Begitu kalimat yang selalu keluar dari mulut Mikanadira ketika ada yang menanyai seperti apa sosok abangnya yang sudah tinggal bersamanya nyaris delapan belas tahun. Sosok pemuda yang selalu ia sebut dengan panggilan ‘Mas’ dalam setiap kondisi di hidupnya. Seseorang yang tidak pernah melewatkan hari-hari pentingnya, hari dimana ia mulai belajar merangkak, berjalan, makan dan mengenakan baju sekolah sendiri; begitu yang selalu Ibun ceritakan jika dirinya bertanya seperti apa sosok Abista kecil.

Bahkan hingga kini, disaat dirinya sudah menginjak umur dewasa — tujuh belas tahun dan Abista yang sudah berumur dua puluh tahun. Pemuda itu tidak pernah sekalipun melewatkan hari-hari berharganya. Abista selalu mengajukan dirinya dengan lantang ketika Mika mengatakan bahwa akan ada pertemuan di sekolahnya. Walau akan dibantah oleh omelan Ibun karena dengan begitu Abista akan meliburkan diri dari sekolahnya.

Tapi tetap aja Abista akan hadir dengan menggenggam tangan Ibun dan senyuman yang lebar. Hingga sekarang, setelah Ibun tiada, abangnya semakin sering melewatkan jadwal sekolah hanya untuk sekedar mengambil rapotnya, menghadiri pentas seni yang kerap diikuti oleh Mika, ataupun untuk menghadiri pertemuan orang tua.

Maka ketika ditanya seperti apa tipe pasangan hidupnya, Mika tanpa pikir panjang akan mengatakan. Abangnya, abangnya Abista Adhiarja. Manusia sempurna tanpa cela di matanya yang baru belajar mengenal dunia. Sosok yang tidak pernah lelah memperjuangkan apapun untuk kelangsungan hidupnya.

Seseorang yang selalu menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Tidak peduli seperti apa musuh yang ia hadapi, Abista hanya memikirkan keselamatan Mika; bahkan pernah ketika dirinya diganggu oleh sekumpulan anak lelaki di sekolahnya, Abista kecil akan dengan segera menyembunyikan tubuhnya dibalik punggung sempit pemuda itu dan langsung memelototi anak-anak disana hingga tidak berani menatap atau menjahili Mika. Dan ia masih ingat betul disalah satu kepingan memorinya, ketika ia pulang dalam keadaan murung karena luka pada lututnya akibat didorong dengan sengaja oleh teman sekelasnya dan menceritakan hal tersebut pada Abista, besoknya orang tersebut meminta maaf dengan luka lebam dipipi.

Abangnya rela menjadi penjahat hanya untuk membalas perlakuan tidak menyenangkan orang-orang terhadap dirinya. Abang yang tidak pernah peduli akan tanggapan orang-orang sekitarnya ketika dibilang sebagai 'tukang pukulnya Nadira'. Abang yang selalu menjadi tempat pulang apapun keadaannya.

Kakak lelaki yang sering kali di cap sebagai seseorang yang tidak begitu dekat dengan adik perempuannya kini terbantahkan dengan keberadaan Abista Adhiarja. Seseorang yang lebih dari sekedar kakak untuk perempuan kecil yang baru saja kehilangan Ibunnya. Seseorang yang menjadi ayah, ibun sekaligus teman.

Maka ketika ada orang yang mengatakan sesuatu yang buruk terhadap Abista, Mika tidak terima. Tidak akan pernah terima. Cukup untuk Abista yang selalu menyembunyikan dirinya dari jahatnya semesta di balik punggung kokohnya. Kali ini, biarkan perempuan kecil ini melawan orang yang tidak tahu apapun tentang abangnya tapi dengan berani mengatakan hal buruk.

Tidak peduli jika nanti abangnya akan mendapat surat panggilan dari wali kelas karena sudah membuat kekacauan asalkan ia bisa sekali saja dalam hidupnya membungkam mulut orang-orang yang tidak tahu sopan santun seperti Zia—teman sekelas yang selalu bersikap buruk padanya, yang baru saja merendahkan Abista menggunakan mulut lancangnya.

Yang membuat Abista harus pulang dari tempat kerja untuk bisa menemui dan menghadiri panggilan dari wali kelas dengan menempuh jarak sekitar tiga jam perjalanan dari Dago ke Pakar dan perkiraan sampai sekitar jam enam sore. Mika pun lantas mengirim pesan untuk Abista menyusul saja ke taman yang kerap menjadi tempat bermain ketika menemani Ibun menanam sayuran lantaran kekecewaan yang ia rasa terhadap semesta yang berbuat begitu buruk pada mereka. Untuk sekedar menangis sebentar saja meluapkan perasaan yang tidak lagi memiliki obat selain pulang pada dekapan hangat milik abangnya.

Tepat pukul enam lebih lima belas menit sore, Abista sampai di kediamannya yang berada di Pakar; rumah milik Ibun yang di bangun ketika Abista berumur satu tahun. Meski sudah berdiri belasan tahun rumah ini tetap utuh dengan perabotan yang mulai usang dan menguning hanya saja itu bukan hal besar jika masih bisa digunakan karena dulu Ibun selalu menjaga barang yang dimiliki dengan telaten, walau sekarang Ibun sudah tiada kini Abista mulai menyadari jika apa yang di rawat oleh Ibun dulu bisa membantu mereka kini dengan fungsinya yang masih seperti baru.

Sedikit banyak Abista merasa bersyukur walau Ibun pergi meninggalkan mereka, ia masih terbantu dengan apa yang sudah Ibun lakukan semasa hidup. Kali ini ia meyakini kalimat pepatah yang mengatakan tentang ‘Apa yang kamu tanam itu yang akan kamu tuai.’ Dan dari Ibun ia mulai berlajar menghargai dan merawat sesuatu yang ia miliki berapa pun nilainya.

Abista mengecek sebentar isi pesan yang dikirimkan Adiknya beberapa jam lalu, berisikan untuk menemuinya di taman belakang rumah yang berjarak beberapa meter, dekat ladang yang sering Ibun gunakan untuk menanam sayur-sayuran, dan taman dengan pohon besar itu menjadi tempat berteduh dikala matahari sedang tinggi-tingginya untuk beristirahat sejenak.

Lantas Abista berjalan menuju taman setelah memarkirkan motor scoppy cokelat dihalaman rumah. Bahkan ia tidak sempat untuk menaruh tas selempang yang selalu dibawa; berisi barang-barang penting seperti dompet, HP dan kunci rumah. Kemeja navy masih melekat sempurna di badan tegap Abista, mencetak punggungnya yang lebar dengan lengan bajunya yang digulung hingga siku.

Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak berkunjung kerumah Ibun yang asri dan taman yang kerap menjadi tempat melepas penat bersama adik dan Ibunnya. Tidak banyak berubah, kecuali ladang yang sekarang kosong tanpa tanaman apapun. Abista jadi merindu. Seakan-akan semua tempat disini memiliki kenangan yang membekas lantaran sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggal disini, menemani Ibun dalam semua kegiatan yang ia lakukan. Bahkan disini pula ia kehilangan Ibun, pegangan paling kokoh yang ia punya dikala semesta yang carut-marut.

Diam-diam ia mengulas senyum, perjalanan menuju taman terasa begitu lama karena kenangan yang tersimpan kini seakan berputar seperti rol film saat ia melangkah. Kenangan itu tidak akan pernah hilang.

Hingga ia melihat sosok adiknya duduk di depan pohon dengan memeluk kakinya dan masih menggunakan pakaian olahraga. Ia lantas mengencangkan laju jalannya. Berharap sesuatu yang buruk tidak menimpa adik kesayangannya.

"Semutnya udah dikasih makan belum?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Abista tatkala ia sampai dan duduk di samping adik perempuannya. "Udah mas, gula yang dibeli Ibun ga pernah habis walau sekarang Ibun udah engga ada. Semut aja seneng mas sama Ibun, kok Ibun diambil duluan dari kita ya?" tanya Mika sambil memperhatikan rombongan semut membawa gula batu yang sengaja ia hancurkan menjadi kecil-kecil agar bisa dibawa oleh mereka.

Abista tersenyum kecil, diusapnya kepala Mika. "Karena itu udah jalan terbaik buat Ibun yang Allah siapkan. Mika harus tau, Ibun sekarang udah seneng. Jangan ditanya kayak gitu terus karena apa yang udah terjadi memang seharusnya terjadi, mau sekeras apapun Mika buat ngehindar engga akan bisa," jawabnya sambil membawa tubuh kecil Mika ke dalam dekapan dadanya yang hangat.

"Yang ikhlas ya? Semesta ga seburuk itu kok kalau Mika ikhlas." Lanjutnya sembari mengecupi puncak kepala adiknya. Lalu seketika itu Mika memeluk tubuh abangnya dengan erat, menangis di sana, seperti yang kerap ia lakukan dulu sewaktu kecil. Sedangkan Abista hanya mengusapi punggung Mika yang bergetar, berharap dengan usapannya ini bisa menghantarkan rasa tenang untuk Mika yang baru saja mencoba untuk membela diri.

"Mas," panggil Mika dengan suara serak. "Maaf ya, karena aku Mas Ata jadi jauh-jauh dari Dago kesini, padahal yang Mas Ata urus bukan cuma aku." Tambahnya.

Abista lekas menggeleng halus, "Mika ini ngomong apa sih, ini kan emang tugas Mas ngurusin Mika. Semenjak Ibun engga ada yang ngurusin Mika kan Mas. Semua yang Mas lakuin itu buat Mika, jadi jangan minta maaf buat sesuatu yang bukan salah Mika," jelas Abista yang kini mengecup lembut dahi Mika.

Lantas suara isak tangis kembali terdengar dari bibir kecil Mika. Perempuan kecil itu tidak sanggup, tidak pernah tega, membiarkan abangnya berjuang sendirian dan mendapat kata-kata yang tidak pantas. Rasanya itu benar-benar tidak sepadan dengan apa yang telah abangnya lakukan. Tidak pernah pantas.

"Mas Ata sebaik ini aja masih ada yang ngatain. Sebenarnya semesta ini mau kita sekuat apa sih Mas? Padahal kita ini manusia," lirihnya dengan suara yang bergetar-getar membuat Abista merasa hatinya kini tercabik-cabik, pantaskah adik kecilnya ini merasakan kejamnya jalan kehidupan semuda ini? Rasanya tidak. Namun sekuat apapun dirinya berusaha untuk menjaga Mika, pada akhirnya mereka dipertemukan lebih cepat dengan jalan takdir.

Tanpa sadar matanya basah, didekapnya tubuh sang adik lebih erat. Seakan-akan mengatakan pada dunia, tangan miliknya ini siap untuk melindungi adik satu-satunya yang paling ia kasihi. "Suatu hari nanti Mika akan tau kenapa semesta menempa kita untuk sekuat ini," jawabnya. "Dan Mika harus tau, ada hadiah indah dibalik kuat-kuatnya manusia yang sedang di sayang semesta. Mika bakal dapet, di penghujung akhir yang disimpan apik oleh-Nya sebagai hadiah atas kuatnya Mika." Lanjut Abista dengan sesekali menepuk halus punggung yang kini akan mencoba tegar kedepannya.

"Sekarang, ayo pulang. Kita cari makan apa yang Mika mau sebagai hadiah dari Mas karena Mika sudah kuat dan mau membela diri," ajaknya sambil membawa tubuh Mika untuk berdiri. Ditatapnya wajah kacau milik Mika dengan seulas senyum tampan yang selalu sukses menimbulkan senyum baru di lengkungan manis bibir adiknya.

"Nanti mampir beli es matcha mang ujang deket sd, masih buka sih kayaknya," ucap Abista seraya mengusapi sisa air mata di pipi gembil Mika lalu di kecupnya dengan lembut yang menciptakan satu lengkungan lebih lebar dari sebelumnya dengan tawa yang ikut terselip. Mika mengangguk, "Beli dua ya? Mas Ata minum juga mana enak Mika minum sendiri ah." Abista yang merangkul adiknya lantas menolak, “Ga mau ah, Mas Ata mau beli taro aja,” balas Abista yang menimbulkan rengutan di wajah cantik adiknya lalu tidak lama rengekan di tengah senja yang terbenam pun terdengar.

“Ih maunya minum es matcha bareng Mas Ata, ya ya? Katanya hadiah,” rajuknya dengan lucu membuat Abista menyerah dan mengiyakan. “Yaudah deh, apa yang engga buat Mika.” Setelahnya hanya terdengar sorakan riang adiknya dan obrolan tentang menu yang akan mereka makan nantinya dan juga membicarakan perihal pertemuan yang akan dihadiri Abista besok harinya diikuti dengan beberapa nasihat yang disanggupi oleh Mika.

Dalam sudut hati kecil Abista berbisik, kuat-kuat ya adik cantikku karena sang pemilik semesta akan menghadiahkan satu kotak senja berisi bintang paling terang untukmu sebagai hadiah atas kuatnya kamu. Kedepannya mungkin akan sulit, tapi aku percaya semesta lebih pintar dan cerdik dalam membuatmu kuat tanpa tanganku lagi sebagai pelindung nantinya.

Dan pukul tujuh lebih delapan menit ini akan menjadi ingatan yang tidak akan pernah hilang dalam catatan memori milik Abista Adhiarja dan Mikanadira Putri.

— 19.08, Pakar. The addition of new memories to the memory records of the two brothers.

signed by the moon.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--